Meski polisi berulang kali bahwa pelaku teror belum sepenuhnya tiarap, tetapi masyarakat sudah mulai kembali "normal" melaksanakan aktivitasnya pascapenangkapan sejumlah gembong teroris yang menjadi buronan nomor wahid di negeri ini. Namun, ledakan M Syarif di Masjid Polresta Cirebon dan Hayat di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Solo membuat keamanan yang sudah dikondisikan sedikit terusik.
Seolah mengisyaratnya bahwa terorisme masih hidup dalam ideologi para pelakunya. Tapi, yang menyeruak di antara ketakutan ancaman teror muncul ide soal anggaran intelijen yang dianggap masih kurang untuk mengantisipasi teror. Benarkah?
Intelijen sebagai pihak yang seharusnya memasok informasi kepada aparat untuk mencegah dan mengantisipasi teror terkesan mandul dan sering kebobolan. Membantah, Kepala BIN Sutanto justru menuding, kebobolan disebabkan anggaran yang masih "kedodoran"
Benarkah hukum dan anggaran sebagai penyebab?
Berdasarkan data yang diperoleh Sindonews dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, anggaran untuk BIN sebenarnya terus meningkat tiap tahun. Pada tahun 2010, BIN memperoleh alokasi Rp985 miliar, naik dari tahun 2008 sebesar Rp982 miliar.
Pada tahun 2010, sebanyak Rp12,46 miliar di antaranya digunakan untuk pengembangan dan peningkatan kemampuan personel, dan Rp188,46 miliar untuk pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana operasional intelijen.
Jika dilihat dari angka, dirasakan jumlah itu masih cukup lumayan untuk membuat lembaga intelijen bergerak. Namun, belakangan muncul soal tak adanya payung hukum. Kepala BIN Sutanto mengaku, seharusnya lembaga semacam BIN bisa melakukan pencegahan karena lembaga yang dipimpinnya memiliki informasi awal untuk bertindak. Saat ini informasi intelijen belum bisa dijadikan barang bukti di pengadilan. Karena itu diperlukan RUU Intelijen yang mengatur akan hal itu.
Kalau ujungnya demikian, tak salah kalau orang awam bertanya-tanya, apakah benar teror atau momentum yang diciptakan?
No comments:
Post a Comment