Ads.

Pages

.

Sunday, September 25, 2011

My First Story : Ketika Malaikat dan Iblis Menjadi bosan


by : Ariearmend

Bab 01 Dan semua kembali lagi

Alexa merasa perjalanannya kali ini sangat tidak menyenangkan. Penerbangan panjang selama 7 jam dari Soekarno Hatta menuju Alia Amman di Jordania serasa sangat melelahkan. Terlebih selama perjalanan dia harus diusik oleh seorang lelaki, yang menurut pendapatnya berasal dari India. Dan selama penerbangan tersebut tidak henti-hentinya bercerita tentang putrinya yang baru saja menikah dengan salah seorang putra keluarga pengusaha yang cukup terkenal di Jakarta. Saat itu mata Alexa sudah hampir tertutup sebelah, hanya saja suara-suara itu masih saja menggangunya untuk benar-benar terlelap.
Pria disebelahnya masih saja terus mengajaknya untuk berbincang-bincang, walaupun Alexa sudah menunjukan muka yang lelah dan tidak ingin diganggu. Bercerita panjang lebar betapa mewah pernikahan putri nya, dan
betapa mahal persiapan-persiapan pernikana tersebut dengan antusias yang sangat tinggi. Ingin rasanya dia pindah ketempat lain, hanya saja kebetulan penerbangan Emirates pada saat ini sangat penuh, semua kursi penumpang dikelas bisnis dan eksekutif terisi hanya satu dua yang terlihat kosong, dan itu pun pada posisi yang menurutnya tidak lebih baik dari posisinya sekarang ini.

“hmmm.. yah, kadang cinta memang bisa membuat manusia menjadi boros” gumam Alexa dalam hati. “Atau memang hanya kebiasaan orang-orang di Jakarta saja yang memang cenderung boros?”. Batinnya bertanya atas pertanyaan sebelumnya.

Hidup dalam perantauan dinegara orang selama lebih dari 7 tahun membuat Alexa berubah 100%. Dia masih ingat dengan jelas ketika dia menghabiskan masa sekolah dasar di Ubud, tempat yang masih menjadi “home” baginya sampai saat ini selain Jakarta yang menjadi “home” keduanya, karena semenjak Ayahnya dipindah tugaskan ke Jakarta, ia dan ibunya dengan sangat berat hati harus harus meninggalkan pulau cantik penuh dengan tawa dan kenangan yang indah baginya.

“dan kamu tau berapa jumlah tamu penting yang di undang oleh pihak mempelai laki-laki di pernikahan itu?” Tanya lelaki disebelahnya dengan suara yang sangat bersemangat dan dapat dilihat dengan jelas kalau dia benar-benar takjub bila mengingat pernikahan putrinya tersebut. Akan tetapi rasa kantuk yang amat sangat dan perasaan letih yang tak terkira membuat Alexa mengabaikan itu semua. Ada hal yang jauh lebih penting untuk saat ini yang harus dia lakukan, yaitu istirahat. Karena dia tahu, kesempatan langka seperti ini tidak akan dia dapat ketika sedang menjalanikan sebuah tugas nantinya.

Dengan mata setengah terpejam dan pikiran yang dia paksa untuk diistirahatkan, akhirnya sebuah istirahat singkat dapat ia nikmati. Dan secara perlahan, bayangan-bayangan tersebut muncul kembali kepermukaan.

Alexa hanya dapat melihat dari kejauhan ketika tangan itu lepas dari genggamannya. Dan jeritan-jeritan bisu setiap kejadian masih dia ingat dengan jelas, perasaaan bersalah yg amat sangat, serta perjuangan-perjuangan bertahan hidup dalam kondisi yang sangat tidak memungkinkan. Dan ia harus menghadapi semua mimpi buruk itu sendirian, tidak satu kalipun dari mulutnya keluar cerita-cerita tersebut. Sampai akhirnya dia bertemu dengan dia, dia yang telah membuatnya terbang jauh dari bayang imajinasinya, membuatnya merasakan sesuatu yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, sampai akhirnya dia menceritakan siapa sebenarnya dirinya kepadanya. Yah, kepadanya lah dia bercerita siapa dia yang sebenarnya, sesuatu yang selalu tertutup rapat sebelumnya. Dan dia pun tertidur, mengabaikan suara-suara yang mulai nampak samar disekelilingnya. Mengabaikan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, dan membuat dirinya benar-benar tidak terjaga dan terlelap dalam kepenatan. Dan dia pun tertidur, mengabaikan suara-suara yang mulai nampak samar disekelilingnya. Mengabaikan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, dan membuat dirinya benar-benar tidak terjaga dan terlelap dalam kepenatan.

****

Alexa melangkahkan kaki nya dengan mantab menuju pintu ketibaan imigrasi, dari sudut matanya tidak dapat di pungkiri terdapat sebuah kecemasan. Dia meraih telepon genggamnya, menghubungi sebuah nomor yang sudah terprogram pada teleponnya.

“Hi, where are you? I just landed.. and still waiting for imigration clearence..”

“I’m here.. outside the building..” jawab sebuah suara diseberang sana. “just clear your self out, and meet me here” balasnya lagi. “klik..” dan sambungan telepon tersebut diputus.

“Soo.. mau kemana kamu habis ini? “ terdengar suara yang cukup dikenal oleh Alexa, membuatnya sedikit terkejut, dia menoleh ke sumber arah suara tersebut. Dilihatnya berdiri dengan posisi yang menurutnya sedikit lucu dengan celana yang sedikit kebesaran dengan postur tubuh yang cenderung pendek dan agak sedikit gendut berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tersenyum dia melihat wajah yang dirasanya dia kenal, memandang Alexa menunggu jawaban balik dari dirinya.

Dengan sedikit kesal, mengingat ocehan-ocehan si India tersebut sepanjang perjalanan dipesawat, membuatnya agak enggan untuk menjawab. Akan tetapi dengan sedikit berat, jawaban itu terlontar juga. “Hotel!” jawabnya dengan singkat.

“Oww.. which one?” tanyanya dengan bahasa Inggris dengan logat India nya yang kental.

“King Emperial maybe..” jawab Alexa dengan bahasa Inggris pula dengan sedikit malas.

“Ahh.. to bad, I’m stay in Hilton.. I hope we can know more each other, while we’re away from home” dengan intonasi genit yang sangat jelas, membuat Alexa membelalakan matanya karena kesal dan marah. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dan dengan gigi terkatup satu sama lain karena kesal dia melangkahkan kaki menjauh dari tempat itu menuju pintu keluar ketibaan, menunggu monorel transfer yang membuatnya pindah ke gedung utama kantor imigrasi. Mengurus visa kunjungan ketibaan kemudian keluar melalui gerbang imigrasi.

Antrian imigrasi ini masih terlihat cukup panjang, tepat berdiri didepannya seorang anak muda dengan dandan yang menurutnya cukup funky, dengan earphone yang terpasang di kedua daun telinganya, terlihat asik dengan suara musik yang terdengar perlahan di telinga Alexa. “Kencang juga..”, batinnya sambil mencari objek lain yang menurutnya menarik, dikarenakan ipod yang dia bawa tersimpan jauh didalam backpacknya, dan mengambil bukan pilihan yang baik untuk saat ini. Dari tempat nya berdiri dia melihat si India, yang sampai detik ini pun dia tidak tahu namanya mengantri pada baris ketiga disebelah kanannya. “Mungkin ini bukan pemandangan lain yang baik..”, bisiknya dalam hati dengan sedikit kesal. Satu persatu para pengunjung yang ada dibarisan antrian yang dapat dia perhatikan, dia perhatikan. Mencari obyek yang menarik, untuk mengisi menit-menit membosankan dalam antrian panjang ini.

“Bint jamilla ‘anti jawaaz as-safar!?” suara petugas imigrasi yang menyadarkan dari lamunannya, memintanya menunjukan passportnya. Dengan langkah cepat dia bergerak menuju petugas tersebut.

“ ‘ahlan wa sahlan!” ucapnya memberikan salam kepada si petugas ketika ia berada persis didepannya. Dengang gerakan yang lincah dan cepat diberikan passport dan dukumen lainya yang terselip dalam passportnya. “kayf al-haal?” Tanya nya kepada si petugas dengan basa-basi.

“maksud kedatangan!? Maadha taf’aliina!?” Tanya sang petugas dengan nada tegas sedikit angkuh dalam bahasa arab dengan tidak menghiraukan sedikit pun sapaan Alexa sebelumnya.

“holiday!” jawabnya singkatnya singkat dalam bahasa inggris.

Petugas tersebut membalik-balik halaman passport Alexa, meneliti sekilas foto dengan namanya, melirik sekilas kearah Alexa sebelum akhirnya memberikan clearance pada passportnya untuk 90 hari.

“Thanks!” seru Alexa sembari lalu, meraih passportnya kemudian menuju keluar kearah trem bagasi, mencari tas kopernya, kemudian berlalu kearah Taxi Stand, tempat pemberhentian taksi. Langkahnya terhenti dalam baris antrian ketiga, ketika dari arah yang tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri sebuah mobil dengan kecepatan sedang menuju kearahnya berhenti sekitar dua meter dari tempatnya berdiri.

“Duarrrr!!” ledakan dari mobil tersebut cukup dahsyat, dengan radius pengaruh sampai dua puluh meter, menghancurkan kaca-kaca disekitar bandara, dan menghempaskan orang-orang yang ada disekitar radius ledak.

Sesaat setelah ledakan terjadi, susana hening mencekam dengan desir dingin yang mengisi rongga-rongga dimusim panas ini. Sesaat kemudian jerit-jerit memilukan dan teriakan-teriakan takut bergema mengisi kekosongan. Dari sudut matanya yang berat dan lumuran darah disekujur tubuhnya, Alexa masih dapat melihat sejenak kekacauan tersebut terjadi, sebelum matanya menutup dan semua menjadi gelap. Suara lirihnya bergumam “mereka tahu.. kau harus pergi dari sini..” lirihnya, sebelum akhirnya semua gelap.

Seketika suasana menjadi hiruk-pikuk dan panik, orang-orang berlarian. Sebagian berusaha menjauh dari lokasi ledakan, beberapa ada yang berlari mendekat dengan memberikan instruksi-instruksi melalui alat bantu komunikasi yang tersembunyi dibalik jaket dan jas mereka.

Dikejauhan.. terlindung dari semua itu, sepasang mata memperhatikan setiap gerak dan langkah semua orang yang ada disekitar ledakan, matanya tidak pernah lepas mengikuti setiap gerak sekelompok orang yang menjadi pusat perhatiannya. “mereka ada disini..” serunya lirih.. dengan tangkas dia meraih teropong yang berada di kursi samping Honda Civic nya, memperhatikan sekitar kejadian dengan radius lebih jauh lagi. Dia tetap mencari-cari sesuatu yang menurutnya ganjl atau janggal. Sampai matanya tertuju pada sebuah minivan yang diparkir sekitar lima kilometre dari kejadian. Dihempaskannya teropong tersebut, kemudian dengan gerakan yang sangat cepat diraihnya senjata laras panjang yang memiliki teropong jarak jauh yang berada tepat dibawah kursi belakang, dicopotnya dengan cepat dan berhati-hati, kemudian mengamati kembali minivan yang menurutnya mencurigakan tersebut. Mencari sesuatu yang sangat menonjol untuk diingat, kemudian mencatat plat nomornya.

Semenit kemudian, mobil tersebut meninggalkan tempatnya semula.. mengaum berderu dan menyelinap dalam lindungan lalulintas menuju kota. Pikirannya terus berkecamuk, rencananya telah berhasil, akan tetapi dia tidak menyangka akan menjadi seperti ini. “Terlalu banyak orang yang mati!” serunya lirih, berperang antara rasa senang dan bersalah.

Sementara itu beberapa orang berlari mendekat kearah dimana Alexa berdiri sebelumnya. Ketika didapatinya tubuh Alexa tidak berada disana, spontan mereka berbicara dalam bahasa asing yang hanya sebagian orang dapat mengerti melalui alat komunikasi mereka yang tersembunyi di balik jaket kepada seseorang dibalik gedung-gedung yang kokoh dengan semua peralatan pantau yang sangat canggih, memperhatikan semua kejadian yang berlangsung dilokasi tersebut melalui satelit kamera pengintai yang berada ribuan kilometre diatas permukaan bumi, mengelilingi bumi berputar dalam sumbu rotasinya. Mengamati dan mengumpulkan semua data yang terjadi, dan mengirimkan data-data tersebut ke server pusat untuk kemudian dianalisa. Merekam setiap kejadian, mengamati kejanggalan-kejanggalan yang kemungkinan ada, dan memberikan hasil analisa tersebut keruang kendali untuk kemudian diteruskan kepada agent yang berada dilapangan untuk di tindak lanjuti. Dan dari hasil pengamatan, sesaat setelah ledakan terjadi, ada dua orang dengan pakaian anti terror yang mendekati tubuh yang diduga Alexa kemudian menjauh dari lokasi melalui area samping yang secara kebetulan tersembunyi dari sudut pandang para agent lapangan tersebut mengamatinya. Menuju kearah sebuah BMW hitam yang terparkir aman terlindung oleh beton dan kerangka kokoh bangunan bandara dari ledakan, menaruh tubuh tak berdaya tersebut dibagasi belakang kemudian menghempaskan pasir dan tanah karena hentakan ban, kemudian melaju dengan hentakan cepat. Dan semua itu terekam dalam kamera pengintai, dan data-data tersebut sudah tersambung dan disebarkan kepada pengintai lapangan untuk mereka pergunakan mencari keberadaan BMW hitam tersebut.
****

Sosok itu mematung memandang barisan pilar tua peninggalan jaman Romawi kuno, “Siapa bilang Jordania tidak seseksi dataran Eropa..” gumamnya.. dengan susunan batu-batu kuno yang dibuat dan dipahat dengan tangan oleh para pengrajin batu, ribuan tahun yang lalu. Monumen peninggalan mereka masih dapat berdiri dengan tegak, walau harus berkompromi dengan pergerakan waktu. Langit biru yang cerah dengan sedikit awan bergerak perlahan sangat serasi sekali bila dipadu dengan tumpukan batu-batu tua dengan tanah yang kuning kemerahan. Dibawah rimbunan pohon, yang dia pergunakan sebagai pelindung dari sengatan matahari dia meraih telepon genggamnya.

“Hai, sudah dilaksanakan.. “ serunya lirih, dengan tidak dapat menyembunyikan sedikit kesedihannya.

“Bagus..” seru lawan bicaranya dalam bahasa Inggris dengan logat Australia yang sangat kental sekali. “Kapan kamu akan kembali kesini?”

“Secepatnya, ada beberapa hal yang harus aku selesaikan terlebih dahulu sebelum aku kesana.” Jawabnya perlahan.

“Apakah ini ada hubungannya dengan Lukman?” tanyanya dengan nada selidik, dengan intensitas cemburu dalam nada suaranya.

“Bukan..dan jangan menyebut nama dalam percakapan yang tidak terenkripsi ini!” jawabnya dengan sedikit tegas, menghiraukan rasa cemburu lawan bicaranya.

“Ok..ok.. , just come back ok.. I miss you so much..”

“Aku akan kesana, tapi bukan untuk ITU, dan kamu tau itu bukan.., semuanya sudah berubah Seamus..”

“Hey..! no name..” seru lawan bicaranya dengan nada sedikit protes.

“Yeah.. I know..” jawabnya dengan sedikit malas.. “Maaf.. sedikit kelepasan..” dengan sedikit acuh.

Dan klik, sambungan telepon tersebut diakhiri olehnya, tanpa minta persetujuan dari lawan bicaranya. “Aku harus pergi dari sini..” gumamnya.. memandang sekali lagi keindahan kota tua Jerash, salah satu tempat favoritnya bila ingin sekedar melepaskan penat pikiran bila ia sedang berada di Amman. Menggerakan kakinya dengan sedikit malas kearah Honda Civic nya yang berada sekitar lima meter dari tempatnya berdiri.

Kakinya terasa sangat lelah, Seamus baru saja menghabiskan jatahnya untuk berlari sore itu diseputaran Bishan hills. Sambungan telepon jarak jauh yang menurutnya sangat berharga baru saja terputus. Pikirannya menerawang jauh kebelahan dunia lain, dengan detail-detail yang sampai saat ini pun masih sangat ia ingat dengan jelas. Pasir-pasir itu dengan hamparan kerikil panas di bulan Maret ketika ia dan Alexa menjalani misi pengintaian pengiriman senjata kelompok garis keras kelompok-kelompok yang mereka curigai melalui jalur Utara Jordania yang berbatasan langsung dengan Mesir kemudian menuju ke Palestina.


Dan sampai saat ini pun dia masih dapat mendengar jeritan-jeritan itu, serta wajah yang sangat dia kenal terhempas satu persatu, ketika desingan peluru mencabik-cabik dada, leher dan tulang tengkorak teman-temannya satu persatu. Hamas mengepung mereka dari segala penjuru, dan beruntung baginya dia dapat membuat celah melarikan diri. Ya, dia dan Alexa.. bahu membahu berusaha mempertahankan hidup, keluar dari lubang maut. Sesuatu yang sampai hari ini dia sendiripun masih belum bisa mempercayainya, bahwa hingga saat ini dia masih hidup. Dan paket yang harus mereka kirimkan masih dapat diselamatkan, serta tidak jatuh ketangan musuh mereka. Bahwasanya rencana jangka panjang tersebut masih aman, dan belum sedikitpun ter endus oleh target-target mereka. Dan keselamatan agen rahasia mereka di setiap titik masih dapat bekerja sesuai jadwal. Dia tidak dapat membayangkan andai saja paket sampai terbuka. Akan lebih banyak lagi wajah-wajah yang dia kenal akan mati.



Pekerjaan itu benar-benar sulit, batinnya selalu mengingkan. Dia kehilangan dua orang rekannya disana, dan dia tidak mau menyalahkan dirinya sendiri. Mossad tidak pernah memberitahukan detail dari pekerjaan tersebut, dan mereka tidak menyangka serbuan yang akan diterima akan sebegitu dahsyat. Sampai saat ini pun dia selalu merasa beruntung sekali dapat lolos dari pengejaran para pengejarnya disana. Bila tidak, mungkin dia sendiri akan mengalami nasib yang sama seperti rekan-rekannya yang tidak berhasil keluar. Mati..! iya, dia dan Alexa sangat beruntung saat itu.

Dengan langkah sedikit pincang, dia melangkah ke unit nomor 317 di kompleks perumahan tersebut. Nyeri yang dia dapat dari tugasnya di Jordania masih dapat dirasakannya hingga kini.

Segelas milo hangat dengan dua tangkap roti isi keju dan selai coklat sepertinya cocok untuk menemaninya setelah kurang lebih lima blok dia berlari mengelilingi kompleks pemukiman ini. Sebuah tempat persembunyian yang sempurna, sekaligus cukup nyaman. Meskipun miskin fasilitas, akan tetapi dia masih dapat benar-benar menikmatinya.

Badannya baru saja dikelilingi oleh handuk dan Seamus berencana untuk melahap makanan yang sebelum dia berangkat ke kamar mandi telah disiapkan olehnya. Ketika sebuah ketukan halus dipintu depan apartmennya terdengar. Dengan sedikit ragu dia memutar balik langkahnya dan bergerak kearah suara tadi, sedikit berteriak dia bertanya “who is it?” Tanya nya kepada seseorang yang berada dibalik. “urgent post sir” jawab suara dari balik pintu, dengan aksen Amerika yang sempurna, Seamus melangkah lebih maju, kemudian menempelkan matanya untuk melihat keluar dari celah pengintip kecil yang ada dipintu. Dilihatnya seorang wanita, dengan seragam jasa pengiriman berdiri dibalik pintu masuknya. Perlahan dia memutar knob pintu dan membukanya. “yup, what you got for me?” dengan aksen Aussie nya yang masih sangat kentara. “this one sir, and can you sign this form?” memberikan sebuah bungkusan dokumen yang terbungkus rapih dan sebuah electronic-pad berisi formulir tanda terima dan sebuah e-ballpoint yang merekat diatasnya. Seamus mengambil dokumen tersebut, dan menumpuk electronic-pad diatas document yang baru saja diambilnya. Meraih e-ballpoint yang merekat diatas meja jalan tersebut, ketika dia mendengar sebuah letusan senjata dengan peredam yang sangat baik dan merasakan dadanya yang telanjang terasa dingin dan sakit, dan kemudian sebuah letusan lagi yang membuat dia sedikit terlempar kebelakang menabrak meja konsol dan menjatuhkan sebuah patung kaki bergaya romawi yang terbuat dari tembikar. Suara pecahan itu adalah suara yang dia dengar untuk terakhir kalinya.

“I already bring the package..” kata wanita tersebut kepada lawan bicaranya. “good, took the data from him..” dan klik, hubungan tersebut diputus.

Dengan gerakan yang sangat ringan dan terlatih, dia memindahkan mayat Seamus untuk sedikit masuk kedalam, kemudian menyingkirkan kakinya yang sedikit menghalangi pintu untuk menutup. Dengan sedikit gerakan mengayun, wanita tersebut menutup pintu dibelakangnya, dan melangkah kearah tv LCD yang ada di tengah ruangan. Mengangkat tv tersebut dan membalikannya. Dengan gaya yang sangat anggun, dia membuka panel belakang penopang dengan bor elektrik ukuran portable, meloloskan satu persatu baut yang merekatkan panel tersebut. Setelah beberapa detik kemudian, dia menemukan barang yang dicari. Sebuah benda yang mirip panel elektronik akan tetapi memiliki cover metal gelap dibagian bawahnya. Mengambil sebuah kotak penyimpanan dari kantung tas pinggangnya, kemudian meletakan benda tersebut dengan sangat hati-hati kedalam kotak. Membereskan segalanya, sebelum akhirnya dia melangkah keluar dari apartemen tersebut.

Dalam kegelapan dia masih dapat mendengar suara-suara langkah kaki itu, serta gambar-gambar cepat setiap kenangan hari yang dia lalui bersama Alexa. Bahkan pada saat-saat yang sangat tidak menguntungkan sekalipun dia masih memikirkan nya, dia masih ingat desingan peluru yang menabrak dadanya sebelum kegelapan ini menyelimutinya. Dan satu-satunya wajah yang dia ikat dalam alam tanpa sadar hanya satu, Alexa..

Limabelas menit kemudian tempat itu sudah dipenuhi oleh belasan kepolisian Singapura, Nyonya Chow yang saat itu sedang berada dirumah mendengar semua kegaduhan yang terjadi dirumah tetangga sebelahnya. Dan memastikan bahwa telah terjadi sesuatu kepada tetangga barunya tersebut, yang kemudian memutuskan untuk menelepon sambungan langsung bantuan polisi. Sifat menyebalkannya akhirnya berguna, hanya saja dia terlambat beberapa menit.

Seorang polisi berusaha menghalau para tetangga yang berusaha mencari tahu apa yang telah terjadi unit nomor 06-40 tersebut, ketika Hamid baru saja keluar dari lift dan melangkah keluar. Masih dalam pikirannya, hari yang sial baginya untuk kembali ke rumah, karena ketika dia melangkah memasuki unit blok apartmennya banyak dilihat mobil-mobil polisi dan beberapa orang polisi yang sedang sibuk mengawasi setiap orang yang lalu lalang di area tersebut. Hari yang sial lagi buat para pembantu dari Indonesia, batinnya. Sebab kemarin baru saja dia baca di Straight Times seorang pembantu rumah tangga yang baru saja bekerja dua minggu di daerah Novena, terjatuh dari lantai delapan sebuah kondominium karena dia sedang membersihkan jendela luar.

Telponnya berdering ketika kakinya melangkah keluar dari lift, dan dia melihat ada empat polisi yang sedang menghalau beberapa penghuni yang berusaha melihat sesuatu kearah unit apartmennya. Dan ketika dirinya hendak menuju arah unit apartemennya, polisi yang baru saja menghalau seorang penghuni tiba-tiba menuju ke arahnya dan menghadangnya. “sorry sir, where are you going?” dengan aksen singlish yang sedikit kentara. “I’m going to my place, is there any problem officer?” dengan aksen Aussie yang masih agak kental, meski dia telah lima tahun tinggal di Singapura. “I’m sorry, there’s a little bit problem in this area, may I know your unit number sir?” lanjutnya lagi. “06-40” jawabnya singkat. “oww..!” tanpa dapat menyembunyikan sedikit rasa keterkejutannya. “you live there?” tanyanya lagi. “yes..” jawabnya dengan sedikit rasa tidak nyaman yang mulai menyelubungi dirinya. “oke, come with me..” membalikan badannya, dan memberikan tanda kepada temannya untuk menggantikan posisinya, kemudian melangkah lebih jauh kedalam. Karena unit apartemennya berada kira-kira ditengah blok apartemen ini, dalam perjalanan dia harus melewati sekitar empat unit untuk bisa sampai ke unit apartemennya. Pandangan mata ingin tahu dan penasaran mengiringi langkah menuju apartemennya, dia dapat melihat, jendela-jendela yang selama ini tertutup sepanjang lorong menuju apartemennya saat ini terbuka dan dipenuhi oleh pasangan mata yang berusaha memantau setiap kejadian, pintu-pintu tertutup, atau mungkin lebih tepatnya harus tertutup. Para penghuni hanya berani melihat kejadian dari dalam rumah, dibalik trailis yang melindungi jendela-jendela tersebut, diliputi penasaran akan apa yang sedang terjadi dilingkungan mereka yang selalu tenang selama ini.

Batinnya menuntut penjelasan, akan apa yang sedang terjadi. Pikirannya melayang mencari-cari petunjuk yang masih samar-samar. Ketika akhirnya dia sampai ke unit apartemennya, setelah sebelumnya dia melewati penjagaan polisi yang benar-benar mengawasi beberapa meter dari area masuk apartemennya dan tepat di pintu masuk ketika kakinya berhenti. Matanya memandang tubuh manusia yang dia kenal kurang lebih setahun ini sebagai teman satu rumah, terbujur kaku dengan posisi terlentang yang sangat mengerikan. Dari dadanya banyak sekali darah keluar, dan dari keningnya terdapat luka lubang peluru dengan ceceran darah yang menyebar hampir keseluruh mukanya, dengan mulut mengaga dan mata terbuka lebar seolah sang pemilik tubuh melihat sesuatu yang sangat mengerikan sebelumnya. Dan pada saat itu pula Hamid merasakan lututnya lemas, kepalanya berputar, serta sempat dia merasakan perutnya melilit sebelum dia akhirnya jatuh pingsan.


* to be continue

No comments:

Post a Comment